Beranda | Artikel
Embun Hikmah Ramadhan
Senin, 30 Mei 2016

Bismillah.

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji manusia siapakah diantara mereka yang terbaik amalnya. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada panutan kita nabi Muhammad hamba dan utusan-Nya, dan semoga pujian dan keselamatan pun tercurah kepada segenap pengikut beliau.

Amma ba’du.

Ramadhan selalu menyimpan hikmah dan petuah bagi insan beriman. Ramadhan pun memberikan dorongan semangat bagi mereka yang ingin meraih keutamaan dan kebahagiaan sejati di akhirat. Sebuah bulan yang penuh dengan keberkahan dan ganjaran. Sebuah bulan yang selalu dinantikan setiap muslim di berbagai penjuru bumi. Karena Ramadhan akan terus mengingatkan mereka akan tujuan agung keberadaan mereka di alam dunia.

Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Ibadah merupakan ketundukan dan perendahan diri kepada Allah yang dilandasi dengan kecintaan dan pengagungan. Beribadah kepada Allah berarti tunduk melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ibadah itu dikerjakan bukan hanya dengan anggota badan, bahkan ia pun harus senantiasa disertai oleh amal-amal hati yang menjadi ruh bagi amal dan ketaatan.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, Ramadhan telah berulang-kali menjumpai kita pada perjalanan waktu kita hingga hari ini. Namun, pertanyaan besar yang patut untuk kita ajukan kepada diri kita masing-masing adalah : Sudahkah Ramadhan kembali menyadarkan kita akan tujuan dan hikmah penciptaan kita di atas muka bumi ini? Sudahkah Ramadhan menggugah hati kita untuk bertaubat dari dosa dan kesalahan kita di masa lalu dan berjuang keras untuk memperbaiki masa depan dengan amal salih dan ketaatan? Ataukah justru Ramadhan hanya datang dan pergi sementara hati kita lalai dan hanya tersibukkan dengan hidangan buka ini dan itu, menu sahur ini dan itu, acara sinetron ini dan itu, permainan ini dan itu, dan seterusnya?!

Wahai saudaraku -semoga Allah curahkan taufik kepada kita- Ramadhan bukanlah musim untuk mencicipi aneka resep masakan dan berbagai menu hidangan. Ramadhan bukanlah musim untuk memamerkan mode busana dan keindahan pakaian. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah melihat kepada tubuh dan rupa kalian. Akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)

Betapa malangnya diri kita, apabila datangnya Ramadhan hanya menjadi ajang mempertontonkan kenikmatan-kenikmatan semu yang melupakan kita dari surga dan neraka. Banyak orang lupa akan hakikat dan tujuan puasa. Bahwa puasa akan membentuk pribadi yang bertakwa. Artinya, puasa akan membentuk pribadi yang mulia, bukan pribadi rendahan dan nista. Karena sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.

Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian. Mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 183). Thalq bin Habib rahimahullah -seorang ulama terdahulu- mengatakan bahwa takwa itu adalah ‘kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya mengharap pahala dari Allah, dan kamu meinggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya takut akan hukuman Allah’.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, sudahkah takwa itu membekas di dalam diri kita? Ataukah ketakwaan yang muncul sekedar topeng yang menutupi kemunafikan dan kerusakan yang menjangkiti hati dan pikiran kita?

Tidakkah kita ingat perkataan Hasan al-Bashri rahimahullah yang menegaskan, “Bukanlah iman itu sekedar angan-angan atau memperindah penampilan. Akan tetapi hakikat iman itu adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.”

Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok manusia-manusia terbaik di atas muka bumi setelah para nabi. Meskipun demikian tinggi kedudukan dan keimanan mereka, ternyata mereka adalah sosok manusia yang memendam rasa takut akan penyakit kemunafikan kalau-kalau hal itu telah menjalar dan merasuk di dalam dirinya. Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah menceritakan, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka semuanya merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan…”

Mungkin kita semua telah mengetahui betapa besar keutamaan puasa. Dimana puasa merupakan sebab terhapusnya dosa-dosa. Namun perlu kita ingat pula, bahwasanya dosa-dosa itu akan terhapus dengan sempurna apabila kita bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Siapakah kita apabila dibandingkan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Bukankah beliau adalah orang yang telah diampuni dosanya dan dijamin masuk surga. Meskipun demikian, beliau adalah orang yang paling sering beristighfar dan bertaubat kepada Rabbnya…

Bandingkanlah dengan sebagian diantara manusia yang begitu meremehkan dosa dan sangat jarang menghiasi lisan dan hatinya dengan istighfar dan taubat kepada Allah. Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Orang beriman melihat dosa-dosanya seperti sedang duduk di bawah sebuah gunung; dia khawatir gunung itu runtuh menimpanya. Adapun orang fajir melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di depan hidungnya kemudian dia halau dengan tangannya seperti ini -beliau pun menggerakkan tangannya di atas hidung-.”

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, bulan puasa adalah kesempatan bagi kita untuk semakin tunduk dan merendah di hadapan Allah. Kita akui segala dosa dan kesalahan kita di masa lalu. Kita pun mengakui segala nikmat yang telah Allah berikan kepada kita; kenikmatan yang begitu banyak dan kita pun tidak akan sanggup menghingganya. Nikmat yang Allah berikan kepada kita begitu besar, dan diantaranya yang paling utama adalah nikmat islam dan iman. Karena sesungguhnya inilah sebab utama untuk masuk ke dalam surga.

Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan kelak di akhirat dia akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran : 85)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah seorang pun yang mendengar kenabianku diantara umat ini baik dia beragama Yahudi atau Nasrani lalu meninggal dalam keadaan dia tidak mengimani ajaran yang aku bawa kecuali dia pasti termasuk golongan penghuni neraka.” (HR. Muslim)

Pertanyaan berikutnya adalah : Sudahkah islam dan iman itu mewarnai dan mengisi relung-relung kehidupan dan tingkah-laku kita? Ataukah islam dan iman itu hanya berhenti pada pengakuan semata yang tidak disertai dengan bukti nyata?! Seperti keadaan sebagian manusia yang Allah kisahkan di dalam al-Qur’an. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sebagian diantara manusia ada yang mengatakan; ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir’ padahal mereka bukanlah termasuk kaum yang beriman.” (al-Baqarah : 8-9)

Mereka itu adalah orang-orang munafik yang menyimpan penyakit keragu-raguan dan kemunafikan di dalam hatinya. Mereka ingin mengelabui Allah dan orang-orang yang beriman di sekitar mereka. Padahal sesungguhnya mereka tidaklah menipu kecuali diri mereka sendiri. Sayangnya, mereka tidak menyadari akan hal ini. Na’udzu billahi min dzalik

Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Orang beriman memadukan di dalam dirinya antara berbuat ihsan/kebaikan dan merasa takut. Adapun orang kafir/munafik memadukan di dalam dirinya antara berbuat buruk/dosa dan merasa aman.”

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, Ramadhan adalah madrasah keikhlasan. Oleh sebab itu Allah mengatakan, bahwa puasa itu adalah ‘untuk-Ku’. Karena sesungguhnya tidak ada yang mengetahui hakikat puasa seorang hamba kecuali Allah semata. Allah pula yang menilai apakah puasanya diterima atau justru menjadi sia-sia sehingga mereka hanya mendapatkan lapar dan dahaga. Puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya.

Kalau seorang muslim rela meninggalkan makan dan minum pada siang hari di bulan Ramadhan karena Allah -padahal makan dan minum adalah sesuatu yang disukai oleh hawa nafsunya- maka sudah semestinya seorang muslim meninggalkan segala hal yang diharamkan Allah sepanjang hidupnya demi mencari keridhaan-Nya, bukan demi menggapai simpati atau mengharapkan pujian manusia kepada dirinya. Di sinilah dibutuhkan keikhlasan dan kejujuran hati seorang hamba…

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu akan dinilai dengan niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan dibalas sesuai dengan apa-apa yang telah dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Abdullah bin al-Mubarok rahimahullah mengatakan, “Betapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niatnya. Dan betapa banyak amal yang besar justru menjadi kecil juga karena niatnya.”

Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya antara Aku dengan selain-Ku maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim)

Ramadhan demi Ramadhan telah kita lalui dan apakah kita sudah menyadari bahwasanya Allah tidak hanya wajib disembah dan diibadahi pada bulan suci ini?! Siapa yang menjamin ruh anda masih berada di dalam jasad pada bulan Ramadhan tahun ini? Siapa yang menjamin bahwa malaikat maut belum mencabut nyawa anda pada akhir bulan Sya’ban ini? Siapa yang menjamin bahwa anda masih bisa berkumpul bersama keluarga pada tanggal 1 Ramadhan nanti? Siapa yang menjamin bahwa anda bisa meneguk segelas air pada sore harinya?!

Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata, “Beruntunglah orang yang memperbanyak mengingat kematian. Karena tidaklah seorang memperbanyak mengingat kematian melainkan hal itu pasti akan membuahkan bekas pada amal-amalnya.”

Saudaraku yang dirahmati Allah, sampai kapankah kelalaian ini akan terus kita pelihara? Sampai kapankah akhirat kita lupakan sedangkan dunia begitu kita puja-puja sedemikian rupa?! Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata, “Jadilah kalian anak-anak pengejar akhirat, dan janganlah kalian menjadi anak-anak pemuja dunia…”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah kalian dalam beramal sebelum datangnya fitnah-fitnah seperti potongan-potongan malam yang gelap gulita. Pada pagi hari seorang masih beriman tetapi di sore hatinya menjadi kafir, atau pada sore hari beriman tetapi pada keesokan harinya dia menjadi kafir. Dia menjual agamanya demi merasakan secuil kesenangan dunia.” (HR. Muslim)

Apakah yang hendak engkau bawa ke alam kuburmu? Apakah yang sudah kamu persiapkan untuk menyambut hari kehidupanmu di esok hari? Apakah kita akan termasuk golongan orang-orang yang menyesali kehidupannya di alam dunia yang fana ini dengan ucapannya ‘yaa laitanii qoddamtu li hayaatii’ yang artinya, “Aduhai, andaikata dahulu aku telah mempersiapkan sesuatu/bekal untuk kehidupanku ini.” Kita berlindung kepada Allah dari hal ini….

Takwa adalah sebaik-baik bekal untuk perjalanan ini, wahai saudaraku… Karena itulah bulan puasa menjadi madrasah bagi insan beriman untuk menempa hati agar lebih tunduk dan bertakwa kepada Rabb yang menguasai alam semesta ini. Puasa adalah perisai bagi hamba dari berbagai maksiat dan perisai baginya dari panasnya api neraka. Takwa, begitu ringan untuk diucapkan, akan tetapi sangat berat di atas timbangan dan butuh perjuangan keras dalam mewujudkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Surga diliputi dengan hal-hal yang tidak disenangi nafsu, sedangkan neraka diliputi oleh hal-hal yang disenangi oleh nafsu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ramadhan tentu mengingatkan kita akan sholat dan ibadah kita. Karena di malam harinya kita begitu bersemangat untuk hadir dalam sholat tarawih bersama teman-teman, tetangga, dan sanak keluarga. Padahal kita semua menyadari dan mengerti bahwa sholat tarawih itu bukanlah amalan yang wajib, tanpa sedikit pun bermaksud meremehkannya. Sudah selayaknya bagi kita untuk kembali menengok sholat dan ibadah-ibadah kita selama ini. Sholat yang wajib lima kali sehari. Sudahkah kita kerjakan dengan baik dan tepat pada waktunya? Sudahkah sholat kita itu diwarnai dengan kekhusyu’an, dzikir kepada Allah, dan takut akan siksa-Nya? Padahal amal-amal yang wajib jelas lebih dicintai Allah dan lebih utama daripada amal-amal yang sunnah. Mengapa sebagian kita begitu bersemangat menunaikan amal-amal yang sunnah tetapi amal-amal yang wajib justru dilalaikan? Adakah sesuatu yang salah di dalam hati dan amalan kita selama ini?

Para ulama kita menjelaskan, bahwa dalam berjalan menuju Allah dan negeri akhirat seorang hamba harus memadukan di dalam dirinya antara melihat limpahan nikmat (musyahadatul minnah) dan melihat aib pada diri dan amal-amalnya (muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal). Dengan melihat limpahan nikmat akan menumbuhkan kecintaan, dan dengan melihat aib diri dan amalan akan melahirkan perendahan diri dan ketundukan. Dari kedua hal inilah berakar penghambaan.

Melihat limpahan nikmat artinya kita harus menyadari betapa banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada kita selama hidup ini. Diantaranya adalah nikmat yang banyak dilalaikan oleh manusia, yaitu kesehatan dan waktu luang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua buah nikmat yang kebanyakan orang tertipu dan merugi karenanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)

Melihat aib diri dan amalan artinya kita harus selalu berintrospeksi dan mengingat dosa serta kesalahan kita. Mengenali kesalahan itu dan berusaha untuk tidak lagi terjerumus di dalamnya. Bertekad kuat untuk tidak mengulanginya dan menyesalinya. Sehingga kita akan menyadari bahwa diri kita penuh dengan dosa dan kesalahan. Penghambaan kita kepada Allah masih jauh dari sempurna dan predikat takwa. Oleh sebab itu kita harus terus bertaubat dan istighfar kepada-Nya. Tanpa taubat maka tidak ada kesuksesan dan keberuntungan bagi dirinya.

Tidakkah kita ingat perjuangan dan berbagai pengorbanan yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi umat dan agama ini? Meskipun demikian, lihatlah apa yang diperintahkan oleh Allah kepada beliau pada masa kemenangan itu datang dan manusia masuk ke dalam Islam secara berbondong-bondong… Ternyata Allah memerintahkan kepada beliau (yang artinya), “Maka sucikanlah dengan memuji Rabb-mu dan mohon ampunlah kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha penerima taubat.” (an-Nashr : 3)

Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha mengatakan : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak di dalam ruku’ dan sujudnya bacaan ‘subhanakallahumma wa bihamdika Allahummaghfir lii’ artinya, “Maha Suci Engkau ya Allah dan dengan memuji-Mu. Ya Allah, ampunilah diriku.” Beliau melaksanakan perintah al-Qur’an (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 1446)

Ya, kita harus lebih banyak belajar untuk mengakui kesalahan dan dosa serta kekurangan kita dalam hal pengabdian kepada Allah dan amal salih selama ini. Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang begitu mulia dan besar jasanya bagi umat manusia dengan dakwah dan jihadnya diperintahkan memohon ampun kepada Allah setelah sekian banyak penderitaan, pengorbanan dan perjuangan yang beliau persembahkan untuk Islam; maka tentu saja kita -yang penuh dengan kekurangan dan kesalahan- jauh lebih layak untuk menyadari cacat dan aib pada diri dan amal-amal kita sehingga kita pun harus terus beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/embun-hikmah-ramadhan/